Pada awal Juni 2023 lalu, Universitas Muhammadiyah Jakarta mendapat tambahan dua Guru Besar. Keduanya masih berusia muda. Bahkan salah satunya menjadi Guru Besar termuda dalam bidang Ilmu Hukum di Indonesia, yaitu Prof. Ibnu Sina Chandranegara, MH. Beliau menerima Surat Keputusan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi tentang Kenaikan Jabatan Akademik sebagai Guru Besar saat usianya baru menginjak 33 tahun.
Setelah SK diterbitkan, tidak sedikit orang yang ragu dan mempertanyakan perihal kebenaran informasi tersebut. Saat ditemui di Ruang Badan Penjamin Mutu UMJ, Kamis (07/06/2023), Prof. Ibnu menjelaskan bagaimana mempersiapkan karier sebagai dosen sejak tergabung dalam program dosen kader di Fakultas Hukum UMJ belasan tahun silam, hingga proses pengajuan dirinya menjadi seorang Guru Besar.
“Saya membayangkan menjadi Guru Besar itu di usia 35 tahun, ternyata belum 35 sudah jadi,” ungkap pria yang sebelumnya tidak berniat mendalami ilmu hukum ini. Pria kelahiran Jakarta, 11 Oktober 1989, ini awalnya ingin mendalami bidang Teknologi Informatika yang menurutnya lebih keren bagi seorang laki-laki.
Karena merasa tidak begitu menguasai pelajaran pendukung bidang TI, seperti kalkulus dan logaritma, saat lulus SMA Ibnu menetapkan pilihanya untuk menuntut ilmu di Fakultas Hukum UMJ setelah membaca berita di koran tentang Top 50 Perguruan Tinggi di Jakarta.
“Saya memilih FH UMJ bukan karena melihat berita UMJ ada dalam 50 PT teratas itu. Tapi dari berita itu, orang tua saya bilang, ‘Pilih UMJ karena lokasinya dekat dari rumah. Kamu nggak usah kecil hati. Kamu bisa saja besar bukan karena institusi, tapi institusi bisa besar karena orang pada masanya’,” kenang Ibnu tentang nasihat orang tuanya.
Ibnu mengaku saat itu ia sama sekali tidak menyangka FH UMJ memiliki reputasi yang sangat baik. Ia merasa selama kuliah mendapatkan dosen-dosen yang mengajar dengan sangat baik, bahkan sebagian dosen itu masih mengajar hingga saat ini.
Ibnu bercerita bahwa ia bukanlah mahasiswa yang lulus dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi, hanya saja ia bisa menempuh perkuliahan hanya dalam waktu 3,5 tahun karena tidak pernah mengulang mata kuliah. Selain itu, kemampuan Bahasa Inggris yang baik juga menjadi faktor pendukung lainnya yang mendorong ia dipilih dalam program dosen kader di bawah pembinaan Prof. Saiful Bahri.
Ibnu juga menjelaskan bahwa gelar akademik tertinggi ini dicapainya setelah melewati masa mengajar lebih dari 10 tahun. Ia lulus sarjana saat berusia 20 tahun, lalu melanjutkan Program Magister Hukum di FH UMJ yang diselesaikannya pada usia 22 tahun. Tanpa jeda, Ibnu kemudian melanjutkan studi Doktor Ilmu Hukum di Universitas Gajah Mada selama 3,5 tahun dan selesai pada 2018 saat usianya 26 tahun.
Menurutnya, proses menjadi Guru Besar dari Lektor Kepala justru lebih lama dibandingkan dengan masa studi yang ditempuh saat sarjana hingga doktor. Namun, atas kecermatannya dalam memahami regulasi jabatan fungsional dosen, Ibnu dapat melakukan perencanaan dan eksekusi matang. Bahkan ia memiliki strategi untuk menabung angka dan poin.
“Ketika seseorang ingin menjadi dosen hingga menjadi Lektor, maka harus mengajar, bukan banyak menulis. Ketika sampai pada level Lektor, barulah harus banyak menulis daripada mengajar. Jadi ritme itu yang digunakan,” paparnya.
Ibnu bersyukur karena ia mendapat pembinaan yang sangat baik, sehingga dapat menjalankan aktivitas tidak hanya sebagai dosen tapi juga seorang advokat. Penghasilan dari profesinya itu digunakan untuk membiayai studi doktor. Ia tidak mencari beasiswa dari negara karena tidak ingin terhambat karena harus banyak menjalani proses administrasi.
“Bagi seorang dosen yang mendapatkan beasiswa dari negara umumnya tidak bisa mengajukan jabatan fungsional. Selama S3, saya justru naik pangkat. Jadi ke depannya nanti kalau UMJ mau menghasilkan guru besar muda, maka harus ada investasi. Harus ada dana mandiri,” katanya.
Sejak 2018, Ibnu menabung poin melalui segala bentuk karya ilmiah hingga saatnya masa mengajar 10 tahun dilalui. Pada Oktober 2022, usulan Guru Besar atas nama Ibnu Sina Chandranegara diajukan ke Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III (LLDIKTI III) dan melalui proses selama kurang lebih lima bulan.
“Di UMJ untuk menjadi Guru Besar tidak ada budaya feodal. Semua punya kesempatan yang sama. Di saat yang bersamaan administrasi birokrasi tidak begitu sulit, semua bisa dipenuhi. Semoga saya bisa jadi contoh bahwa budaya feodalisme bisa dikikis karena untuk jadi luar biasa harus menghilangkan feodalisme,” tambahnya.
Selain karena sudah menjadi cita-cita, Ibnu berhasil menjadi Guru Besar karena tidak pernah berhenti melangkah. Orang lain melihatnya sebagai orang yang sangat sibuk dengan aktivitas akademik. Ketika ditanya tentang otak kanannya digunakan untuk apa, Profesor muda ini tertawa.
“Saya juga suka bermusik, punya band. Saya main bas. Setiap hari saya main musik. Intinya saya tidak sesibuk yang orang bayangkan. Saya hanya mengurangi waktu tidur. Ini juga hasil binaan pembina saya, Prof. Saiful. Beliau jam 2 malam masih menulis. Saya seperti orang pada umumnya. Mungkin ada yang mengira saya orangnya tidak asyik, padahal saya lebih senang bercanda,” ungkapnya.
Bagi Ibnu, kesibukan adalah candu. Sekretaris Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara ini merasa tidak pernah bosan dengan aktivitas akademiknya, membaca, meneliti, menulis. Ia merasa bisa “sakau” jika tidak melakukan apa-apa. Ia perlu beraktivitas agar tidak sakit kepala dan stres.
Dosen yang aktif di Perhimpunan Advokat Indonesia ini menganggap seluruh aktivitasnya, baik sebagai dosen maupun advokat, dapat memenuhi kebutuhannya sebagai manusia. Dosen atau advokat, dua-duanya menjadi kebanggaan baginya.
“Advokat atau dosen? Kalau dilihat dari sumber penghasilan ya pilih advokat. Advokat kan bisa dapat berapapun. Tapi kalau dosen, sifatnya aktualisasi diri. Orang-orang bisa menghormati saya kan karena saya dosen, tapi orang-orang belum tentu bisa menghormati advokat. Pada akhirnya hidup itu kan bukan hanya tentang materi, tapi pride,” katanya.
Prof. Ibnu Sina Chandranegara, MH., saat menjadi Hakim Konstitusi Semu dalam Kompetisi Peradilan Semu Mahkamah Konstitusi.
Atas apa yang sudah diraihnya hari ini, Ibnu memastikan pembinaan yang dilakukan Prof. Saiful terhadap dirinya begitu berarti. Bukan kemudahan materi yang ia dapatkan dari alm. Prof. Saiful Bakhri, melainkan akses dan kebebasan untuk mengelolanya. Menurutnya, salah satu alasan orang bisa berkembang bukan karena pintar, melainkan berada di bawah pemimpin yang tepat. Katanya, good boss create good soldier.
“Kalau pak Saiful bisa melihat saya seperti sekarang, pasti Beliau senang sekali. Dan saya mau bilang, ‘Prof, saya sampai’,“ kata Ibnu dibarengi senyuman dan suara lirih.
Rasa cintanya pada Sang Guru mendorongnya menjalankan misi untuk melahirkan Guru Besar di Fakultas Hukum. Terlebih dosen-dosen di bawah binaan Prof. Saiful. Ibnu tidak mau meraih gelar Guru Besar sendirian, oleh sebab itu Ibnu menargetkan pada 10 tahun yang akan datang rekan seperjuangannya juga sudah jadi Guru Besar.
Selama berbincang dengan Guru Besar muda ini, ia beberapa kali menceritakan lelucon-lelucon masa lalu yang kerap kali dilontarkan Prof. Saiful.
“S2 itu punya pisau untuk cacah bawang, S3 itu punya samurai yang bisa untuk membelah kepala. Kalau profesor punya mahkota, yang bisa digunakan untuk memerintah orang yang punya samurai. cerita-cerita lucu seperti itu yang membuat para asistennya semangat,” katanya diiringi tawa ringan.
Saat mahkota itu diraihnya, Ibnu merasa memiliki tanggung jawab baik untuk kemajuan dunia akademis maupun lingkungan sosial. Selain bertekad menciptakan Guru Besar baru, menurutnya Guru Besar memiliki tanggung jawab sosial yang diemban. Ketika masyarakat membutuhkan jawaban dari pertanyaan tentang segala hal, Guru Besar bertanggung jawab untuk memberikan jawabannya.
“Berat. Mudah-mudahan tidak disuruh jadi pejabat apa pun. Saya bukan orang yang bisa duduk lama-lama di belakang meja. Tanya saja mahasiswa saya,” tuturnya sambil mengarahkan telunjuk ke arah Gedung Fakultas Hukum berada.
Seperti yang dikatakan Ibnu di awal perbincangan, ia adalah orang yang tidak bisa stop. Setidaknya meskipun mahkota seorang pendidik itu telah dipegangnya sehingga bisa bermain musik sepanjang waktu, tapi Ibnu memilih untuk tetap produktif dan bermanfaat bagi masyarakat.
“Bidang saya Hukum Tata Negara. Saya punya kewajiban untuk menjaga dan memberikan pandanan ‘merah-putih’. Persoalan yang sangat bahaya kan saat ini yang sangat tampak, saya tidak tahu hukum yang dibentuk oleh pembentuk hukum saat ini untuk kepentingan siapa?,” suaranya semakin rendah.
Kondisi yang begitu mengerikan bagi Ibnu bukan produk hukum hasil kepentingan politik yang sifatnya jangka pendek. Menurutnya lebih berbahaya adalah kepentingan pemilik modal yang berjangka panjang.
“Hal-hal lain yang jadi pikiran saya memberikan advice supaya hukum sesuai dengan kebutuhan kita,” katanya.
Ibnu kemudian menutup perbincangan dengan sebuah peribahasa latin sebagai pesan untuk siapa pun yang membaca tulisan ini.
“Pada akhrinya kalau ingin mencapai kesuksesan ternyata harus ditempuh dengan berperang. Si vis pacem, para bellum. Kalau mau menang harus berperang,” tutup Ibnu.
Editor : Tria Patrianti